NasionalPos.com, Jakarta – Ekonom Indef Nailul Huda memperkirakan inflasi bisa tembus ke level 4 persen jika harga Pertalite dan LPG 3 Kg naik. Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat dalam jangka pendek pun akan melorot.
“Jika harga Pertalite dan LPG 3 kg dinaikkan, maka inflasi bisa mencapai 3,5 persen hingga 4 persen secara year on year (yoy),” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/4).
“Bukan cuma inflasi berdasarkan harga yang ditetapkan pemerintah saja, namun juga berakibat pada barang-barang lainnya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Nailul, kenaikan harga Pertalite juga akan membuat biaya distribusi beberapa barang meningkat. Dalam jangka panjang, harga akan ternormalisasi di harga baru dan akhirnya sulit untuk turun, sehingga beban masyarakat akan meningkat.
Dia menyebut keadaan seperti ini bisa berbahaya di mana inflasi seharusnya dijaga di kisaran angka 2,8 persen hingga 3 persen. “Dampak yang paling terasa tentu saja, daya beli masyarakat bisa lama pulihnya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Nailul berpendapat pemerintah sebaiknya menahan dulu harga Pertalite dan LPG 3 Kg agar keadaan tidak bertambah buruk. Terlebih, PT Pertamina (Persero) juga baru menaikkan harga Pertamax dan LPG non subsidi.
Senada, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jika pemerintah menaikkan harga Pertalite dan LPG 3 kg, inflasi bisa meningkat hingga 5 persen secara tahunan sepanjang 2022 atau 1,5 persen-1,7 persen secara bulanan sepanjang April.
Inflasi yang tinggi, lanjut dia, akan menciptakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal karena naiknya biaya produksi belum tentu disertai kenaikan omzet pelaku usaha. Usaha UMKM juga berpotensi gulung tikar dan tidak sedikit masyarakat rentan yang jatuh di bawah garis kemiskinan.
“Semakin rendah pendapatan seseorang, semakin sensitif terhadap fluktuasi harga energi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Bhima menyarankan pemerintah untuk menahan selisih harga keekonomian Pertalite dan LPG 3 kg melalui mekanisme subsidi silang hasil windfall atau keuntungan penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan.
“Diproyeksikan pemerintah sedang mengalami lonjakan pendapatan pajak dan PNBP sekitar Rp100 triliun akibat naiknya harga komoditas ekspor,” terang Bhima.
Pada Maret 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 0,66 persen secara bulanan. Sementara, secara tahunan terjadi inflasi 2,64 persen.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberikan andil sebesar 0,38 persen dan inflasi 1,47 persen pada Maret 2022.
Kemudian, kelompok lainnya yang menyumbang inflasi adalah transportasi, yakni mencapai 0,42 persen.
Berdasarkan komponennya, komponen bergejolak (volatile foods) inflasi 1,99 persen dengan andil 0,33 persen. Volatile foods, terdiri dari komponen energi dengan inflasi 0,84 persen dan andil 0,08 persen serta komponen bahan makanan 1,87 persen dan andil 0,34 persen.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah sedang mengkaji kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite. Hal ini seiring dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia beberapa waktu terakhir.
Pemerintah juga tengah mengkaji kenaikan harga LPG 3 kg. Namun, Airlangga belum dapat menjelaskan lebih lanjut kapan pastinya harga akan naik.
“Saat sekarang kami masih mengkaji. Nanti sesudah kaji, akan kami umumkan,” ucap Airlangga dalam konferensi pers, Selasa (5/4/2022). (CNN Indonesia.com)