NasionalPos.com, Jakarta – Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain resmi mencapai kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel dengan Amerika Serikat sebagai penengah di Gedung Putih, Selasa (15/9). Kesepakatan damai ini merupakan langkah bersejarah mengingat negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Liga Arab sejauh ini menolak hubungan diplomatik dengan Israel.
Sejauh ini hanya Mesir dan Yordania yang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Mesir berdamai dengan Israel pada 1979, sementara Yordania pada 1994.
Jauh sebelum kesepakatan damai, negara-negara Timur Tengah kerap menolak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel demi membela Palestina. Sejarah kontemporer dari konflik Israel-Arab sangat dipengaruhi oleh kepercayaan agama dan pandangan dari masing-masing pihak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Konflik panjang antara Israel dan negara-negara Timur Tengah tak terlepas dari ketegangan politik, konflik militer, dan perselisihan yang meningkat sejak abad ke-19.
Konflik bermula dari klaim yang saling bertentangan atas tanah yang diklaim bangsa Yahudi sebagai tanah air leluhur mereka. Sementara di saat yang sama gerakan Pan Arab yang nasionalis menyatakan tanah itu milik Palestina.
Konflik sektarian, di wilayah yang saat itu dimandatkan kepada Inggris, antara bangsa Yahudi dan Arab Palestina meningkat saat terjadi perang sipil pada 15 Mei 1948. Peristiwa itu dikenal sebagai Perang Kemerdekaan oleh bangsa Israel.
Perang ini menandai konflik bersenjata pertama antara Israel dan negara-negara tetangga Arab.
Bagi warga Palestina, Perang Arab menandai awal dari rangkaian kejadian yang menjadi ‘bencana’ dan mimpi buruk mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru memutuskan untuk menerbitkan keputusan yang membagi wilayah Palestina ke tangan Israel.
Keputusan PBB tersebut ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah dan negara-negara Muslim. Kendati bangsa Yahudi hanya 30 persen dari total daerah yang baru diputuskan PBB, namun mereka mendapat 55 persen dari seluruh wilayah.
Israel kemudian mendeklarasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948 yang disampaikan oleh David Ben-Gurion, kepala eksekutif Organisasi Zionis Dunia. Saat itu tidak disebutkan batas negara antara Israel dan para tetangga negara Arab.
Selang sehari setelahnya, tentara gabungan Libanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya langsung menyerbu Israel. Israel memenangkan perang tersebut dan malah merebut kurang lebih 70 persen dari total wilayah yang menjadi mandat PBB.
Kapten Avraham Adan kemudian mengibarkan bendera Israel di Umm Rashrash (sekarang Eliat) pada 20 Juli 1949 sebagai tanda berakhirnya perang.
Penguasaan Israel setelah memenangkan perang membuat bangsa Palestina melakukan terpaksa mengungsi dari tanah kelahiran mereka. Sementara negara-negara Arab mengusir bangsa Yahudi yang berada di negara mereka.
President Donald Trump, right, speaks with United Arab Emirates Foreign Minister Abdullah bin Zayed al-Nahyan, Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu and Bahrain Foreign Minister Khalid bin Ahmed Al Khalifa, during the Abraham Accords signing ceremony on the South Lawn of the White House, Tuesday, Sept. 15, 2020, in Washington. (AP Photo/Alex Brandon)Perjanjian damai UEA-Bahrain-Israel di Gedung Putih, AS. (AP Photo/Alex Brandon)
Masa transisi pasca perang Arab-Israel
Hubungan antara Israel dan negara-negara Timur Tengah tak kunjung membaik selepas Perang Arab-Israel 1948.
Merespons perlakuan Israel, pada 1956 Mesir menutup Selat Tiran dan Teluk Aqaba yang menjadi pintu keluar masuk pengiriman ke Israel. Banyak pihak menganggap keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan Konvensi Konstantinopel tahun 1888 dan Perjanjian Gencatan Senjata 1949.
Mesir melanjutkan aksi penutupan akses pengiriman Israel dengan menasionalisasi perusahaan dan menutup Terusan Suez.
Menanggapi keputusan tersebut, Israel dengan dukungan militer Inggris dan Prancis kemudian menginvasi Semenanjung Sinai pada 29 Oktober 1965 demi membuka kembali akses pelayaran. Selama krisis Terusan Suez, Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai untuk mengekspansi wilayah kekuasaannya.
Atas permintaan AS dan PBB, Israel akhirnya sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan mundur dari wilayah Mesir. Kendati berhasil didesak mundur, Israel juga berhasil memaksa Mesir memberi jaminan keleluasaan kapal-kapalnya lalu lalang di Selat Tiran.
Sementara itu Mesir sepakat memberi kebebasan navigasi di wilayah tersebut dan demiliterisasi Sinai. Keputusan demiliterisasi kemudian diawasi oleh Pasukan Darurat PBB (UNEF) di area perbatasan Mesir lantaran Israel tak memberi izin mereka berada di wilayahnya.
Pada 19 Mei 1967, Mesir mengusir UNEF dari daerahnya dan mengerahkan 100 ribu tentara di Semenanjung Sinai.
Sebagai perwujudan impian membangun pemukiman Yahudi di gurun Negev, Israel kemudian merancang proyek untuk mentransfer alokasi air sungai Yordania ke wilayahnya.
Kecewa dengan sikap Israel, orang-orang Arab mencoba mengalihkan hulu sungai Yordania. Tindakan ini kemudian membuat konflik antara Israel dan Suriah berkembang.
Pada 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir yang menyepakati mobilisasi tentara di Sinai dan perbatasan selatan Israel dengan melintasi garis PBB.
Kecewa dengan kesepakatan itu, Israel kemudian melancarkan serangan ke Mesir pada 5 Juni 1967. Angkatan Udara Israel (IAF) menghancurkan sebagian besar Angkatan Udara Mesir dalam sebuah serangan mendadak yang di luar dugaan.
Di saat bersamaan, Israel juga melancarkan serangan darat ke Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai-serangan yang juga di luar dugaan Mesir.
Setelah bertahan dari gempuran Israel, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir akhirnya memerintahkan evakuasi warga dari Semenanjung Sinai. Pasukan Israel terus bergerak ke arah barat dengan memburu dan menyerang pasukan Mesir yang sedang ditarik mundur hingga berhasil menguasai Semenanjung Sinai.
Perang Enam Hari
Serangan angkatan bersenjata Israel kemudian berlanjut ke arah timur hingga menghancurkan Angkatan Udara Yordania, Suriah, dan Israel. Serangan ini pula yang memicu pecahnya Perang Enam Hari pada 5-10 Juni 1967, yang berakhir dengan kemenangan Israel.
Merespons tindakan Israel, Presiden Nasir kemudian menghasut Suriah dan Yordania untuk melancarkan serangan ke Israel.
Serangan balasan Israel terhadap ketiga negara justru berhasil membuat Yordania melepaskan Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Sementara Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel.
Tak hanya itu, perang yang berakhir dengan kemenangan Israel juga membuat mereka menguasai Semenanjung Sinai, dan area pertanian Shebaa. Kekalahan ini memaksa Nasir mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Mesir, sebelum kembali menduduki jabatan karena rakyat menolak keputusannya.
Pihak yang bertikai akhirnya sepakat untuk menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada 11 Juni 1967. Dalam perang tersebut Israel dilaporkan berhasil menewaskan 20 ribu serdadu dari ketiga negara, sementara mereka hanya kehilangan 1.000 tentara.
Perang enam hari menimbulkan konsekuensi jangka panjang, salah satunya adalah eksodus 300 ribu warga Palestina yang dipaksa angkat kaki dari Tepi Barat dan 100 ribu warga Suriah yang dipaksa meninggalkan dataran tinggi Golan.
Para pemimpin negara Arab melakukan pertemuan di Khartoum pada akhir Agustus 1967 untuk membahas posisi terhadap Israel atas kemenangan dalam perang enam hari. Negara-negara Arab menyepakati tidak boleh ada pengakuan, tidak ada perdamaian, dan tidak ada negosiasi dengan Israel.
Pada 1969 Mesir memulai Perang Attrisi dengan tujuan untuk merebut kembali Semenanjung Sinai dari tangan Israel. Perang ini menyisakan pilu lantaran Presiden Gamal tewas dalam serangan pada 1970.
Anwar Sadat yang meneruskan kepemimpinan Gamal justru memiliki strategi sebaliknya. Sadat mencoba berdamai dengan AS, dengan harapan Washington bisa menekan Israel untuk mengembalikan tanah yang direbut dari Mesir.
Pada 6 Oktober 1973 yang merupakan hari raya Yom Kippur dalam kalender Yahudi, Suriah dan Mesir melancarkan serangan dadakan terhadap Israel. Militer Israel tidak siap sehingga butuh waktu tiga hari untuk membalas serangan tersebut.
Pertempuran tersebut mendorong negara-negara Arab sepakat memberikan bantuan untuk memperkuat militer Mesir dan Suriah. Tak hanya itu, negara-negara Arab juga memberlakukan embargo minyak dan menaikkan harga minyak hingga enam kali lipat terhadap AS, Jepang, dan Eropa Barat karena mendukung militer Israel.
Jalan panjang normalisasi hubungan
Ketegangan antara Israel dan Mesir mereda ketika Presiden Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin menandatangani perjanjian damai di tempat peristirahatan presiden AS, Camp David, pada 17 September 1978. Kesepakatan itu dilanjutkan dengan deklarasi di Gedung Putih ditengahi Presiden AS Jimmy Carter.
Mesir mensyaratkan kembalinya Semenanjung Sinai ke tangan mereka, sementara Jalur Gaza tetap berada di bawah kendali Israel, untuk dimasukkan dalam negara Palestina di masa depan. Tak hanya itu, Mesir juga sepakat untuk menyediakan jalur bebas bagi kapal-kapal Israel melalui Terusan Suez, dan pengakuan Selat Tiran dan Teluk Aqaba sebagai jalur internasional.
Kesepakatan tersebut menjadikan Mesir sebagai negara Timur Tengah kedua yang mengakui secara resmi Israel sebagai negara yang berdaulat. Sebelum Mesir, Turki menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Israel pada 1949. Setahun kemudian, Turki mendirikan perwakilan diplomatik di Israel.
Langkah Turki dan Mesir kemudian diikuti oleh Yordania yang mendatangi perjanjian damai dengan Israel pada 26 Oktober 1994 di Arabah. Saat itu PM Israel Yitzhak Rabin dan PM Yordania, Abdelsalam Majali sepakat untuk menjalin kerja sama timbal balik dan menghentikan permusuhan.
Kesepakatan antara kedua negara kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Washington yang diteken oleh Rabin, Raja Hussein dari Yordania, dan Presiden AS Bill Clinton di Gedung Putih. Konflik antara Yordania dan Israel dilaporkan telah menelan biaya sedikitnya US$183, miliar.
Mengikuti jejak ketiga negara tetangganya, Uni Emirat Arab dan Bahrain sepakat untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel pada 15 September 2020. Namun, berbeda dari beberapa negara yang disebutkan di atas, mereka tidak pernah terlibat peperangan langsung dengan Israel.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh PM Israel Benjamin Netanyahu, Menlu UEA Abdullah bin Zayed, dan Menlu Bahrain Abdullatif bin Rashid al Zayani disaksikan Presiden Donald Trump di Gedung Putih.
Israel dilaporkan setuju menghentikan upaya aneksasi wilayah Palestina. Komitmen tersebut tertuang di bawah perjanjian perdamaian antara ketiga negara. Namun tak lama kemudian, Netanyahu mengatakan bahwa dia hanya menunda aneksasi Tepi Barat, Palestina, bukan membatalkannya.
(CNN Indonesia)