Nasionalpos.com, Jakarta– Kubu koalisi partai politik pengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengkhawaatirkan dampak sistemik pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian masyarakat.
“Melemahnya kurs rupiah yang berkepanjangan tentunya memberatkan perekonomian nasional, khususnya rakyat kecil,” ujar bakal cawapres Sandiaga Uno, dalam konferensi pers di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Hadir dalam konferensi tersebut antara lain bakal calon presiden Prabowo Subianto, bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno, Presiden PKS, Sohibul Iman, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Ketua DPP PAN, Yandri Susanto.
Menurutnya, rakyat kecil cepat atau lambat harus menanggung kenaikan harga harga kebutuhan pokok termasuk harga kebutuhan makanan sehari-hari rakyat kecil, seperti tahu dan tempe.
Pengusaha sukses ini menilai, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang berkepanjangan itu karena dua faktor. Pertama, kelemahan fundamental ekonomi Indonesia, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
Kedua, sektor manufakturing yang menurun dan pertumbuhan sektor manufakturing yang di bawah pertumbuhan ekonomi. Sektor manufakturing yang pernah mencapai hampir 30 persen Produk Domestik Bruto pada 1997, sekarang tinggal 19 persen PDB. Hal ini tentu mengganggu ketersediaan lapangan kerja dan ekspor nasional.
Melemahnya fundamental ekonomi ini tidak terlepas dari kekeliruan dalam orientasi dan strategi pembangunan ekonomi. Diantaranya, ketidakberhasilan pemerintah dalam mendayagunakan kekuatan ekonomi rakyat sehingga kebutuhan pangan semakin tergantung pada impor. Impor masih terus terjadi untuk komoditas pangan pokok, di antaranya beras, gula, garam, dan bahkan bawang putih.
Karena itu, lanjt Sandi, pemerintah perlu lebih waspada dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi keadaan yang dihadapi.
Langkah tersebut, pertama, mendayagunakan ekonomi nasional untuk mengurangi impor pangan dan impor barang konsumsi yang tidak penting, bersifat pemborosan, dan barang mewah yang ikut mendorong kenaikan harga harga bahan pokok.
Kedua, mengurangi secara signifikan pengeluaran pengeluaran APBN dan APBD yang bersifat konsumtif, seremonial, dan yang tidak mendorong penciptaan lapangan kerja. []