JAKARTA, NasionalPos – Dua institusi penegak hukum, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) bersitegang. Kegaduhan kedua lembaga itu terkait soal ada tidaknya 269 Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pegawai MK ke KPK pada 2016 lalu.
Pihak KPK menyatakan ada lima hakim konstitusi yang belum menyerahkan LHKPN. Mereka adalah Ketua MK Arief Hidayat dan empat hakim MK Anwar Usman, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang terseret kasus suap.
Berdasarkan data acch.kpk.go.id, Arief terakhir kali melaporkan harta kekayaan pada 2014, Anwar pada 2011, Wahiduddin pada 2014, Palguna pada 2015, dan Patrialis pada 2013. Sementara hakim Maria Farida Indrati terakhir kali melaporkan kekayaannya pada 2015.
“Hakim Aswanto masih kami cek lebih lanjut. Sementara hakim Suhartoyo dan Manahan Sitompul telah melaporkan pada 2016. Tapi kami masih proses kelengkapan berkasnya sebelum diumumkan,” ujar Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah.
Untuk itu, Febri mengimbau kelima hakim yang belum menyerahkan itu segera memperbarui laporan harta kekayaan mereka. Sebab, tenggat waktu yang diberikan oleh KPK untuk pelaporan LHKPN bagi para hakim itu telah mencapai batas.
Sementara, pihak MK mengklaim telah menyerahkan seluruh LHKPN yang dimaksud KPK. Termasuk LHKPN milik para hakim konstitusi.
Juru bicara MK Fajar Laksono menandaskan, proses penyerahan LHKPN pegawai MK dilakukan pada Desember 2016. Anehnya, pihak MA mengaku belum mendapat tanda terima terkait penyerahan LHKPN.
“Kami sudah menyetorkan seluruh data LHKPN pegawai dan hakim ke KPK. Saya akan cek lagi, apakah memang betul ada hakim yang belum menyerahakan,” ujar Fajar kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/3/2017).
Fajar mengatakan, proses penyerahan LHKPN hakim konstitusi merupakan kewenangan lembaga. Ia berkata, para hakim menyerahkan LHKPN secara kolektif, tidak secara perorangan.
“Penyerahan LHKPN diatur secara kelembagaan, tidak sendiri-sendiri. Maka akan kami cek lagi kalau memang ada hakim yang belum menyerahkan,” katanya.
Dalam peraturan KPK tahun 2005 menyebutkan bahwa penyelenggara negara wajib melaporkan LHKPN dua tahun sekali.
LHKPN diatur dalam ketentuan Undang-undang 28/1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Aturan itu mewajibkan pejabat negara melaporkan kekayaan dan bersedia diperiksa sebelum, selama, dan setelah menjabat. (dit)