NasionalPos — Konspirasi besar pembantaian muslim Rohingya, ternyata ada sumber daya alam potensial yg tersimpan di bawah kaki bumi Rohingya. Mirip Irak yg dihancurkan,demikian dikatakan oleh Arifin Mufti pengamat politik Internasional dari Universitas Gajah mada dan juga seorang jurnalis independen .
Menurut nya,istilah “Tug Of War” dalam olah raga adalah lomba TARIK TAMBANG, atau adu kuat tarik tambang. Dalam geopolitik artinya adu kuat/pengaruh memperebutkan satu wilayah strategis biasanya antara Barat vs China di Asia, hal ini mulai dengan adanya Sidang Tertutup Dewan Keamanan PBB (UNSC) yang dihadiri 15 negara di New York, Rabu ( 30 /8/2017).
Inggris, Matthew Rycroft, mengajukan usul mendiskusikan isu pembantaian Rohingya di Myanmar. China menolak dengan keras, dan sangat keberatan (AFP, 31/8). Demikian juga bulan Juni lalu, ketika diusulkan investigasi adanya Pembersihan Etnik di Myanmar oleh tim PBB, China MENOLAK. Bulan Maret sebelumnya juga sama ditolak China. (The New York Times, The Washington Post, The Elevennews).
“Tim PBB, bulan Juni, juga tidak bisa masuk Myanmar karena ditolak visanya oleh Pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar didukung China sepenuhnya, sehingga berani menolak (The Eleven)”tuturnya,
Lebih lanjut ia mengatakan menjadi menarik, ketika wakil dari Inggris berkata pada Sidang DK PBB: “ Kami bersama yang mendukung kepemimpinan Aung San Kyi masih respek sebagaimana sebelumnya” (AFP).
“Ada banyak kepentingan sejumlah Negara-negara besar di Myanmar yang diwakili Korporasi dunia disana, keamanan investasi. Utamanya Inggris, Amerika, China, Korea Selatan, Uni Eropa dan sejumlah Negara Teluk.”ungkapnya,lalu apakah Pembersihan Etnik Rohingya hanyalah peristiwa insidentil saja? jawabnya, tidak.
Ia juga mengungkapkan pada oktober 2015, dari dokumen yang bocor di Inggris – “International State Crime Initiative (ISCI) di Queen Mary University di London menyimpulkan bahwa Rohingya yang menduduki wilayah Rakhine State menghadapi ancaman proses genosida tahap akhir. Dokumen yang dimiliki pemerintah Inggris bersumber dari intelijen di Myanmar, memperlihatkan rencana yang menyangkut “pembersihan secara masal yang telah disiapkan oleh Pemerintah Myanmar tingkatan tertinggi.
Diungkapkan oleh jurnalis Nafeez Ahmad PhD, spesialis “Investigative Report dari The Sydney Morning Herald dan The Age, media dunia di Australia. Dimuat juga di Majalah The Echologist dan Harian lokal di Timur ,merujuk laporan Departemen Perdagangan dan Investasi Inggris (UKTI), kandungan minyak senilai 3,2 juta barel dan cadangan LNG yang sangat besar – yang diketahui juga oleh korporasi Dunia dibidang Energi (Inggris, Amerika, UE, China, Korea Selatan dan sejumlah perusahaan energi Negara Teluk).
Contoh saja, “parallel gas pipeline” sejak tahun 2014 telah mengalirkan 4 milyar meter kubik metana dari Myanmar dan Qatar ke China dari pelabuhan Kyaukpyu di Rakhine State (lokasi penduduk Rohingya).
Myanmar sudah sangat dekat dengan Cina (silent operation) yang membawa YUAN sebagai bantuan dana pinjaman untuk membangun berbagai infrastruktur – termasuk bidang energi diwilayah pemukiman Rohingya, Rakhine State.
The New York Times, bulan Juli melaporkan “ Cina memberi banyak perhatian ke Myanmar, sedangkan Trump matanya entah kemana?”.
Untuk mengamankan investasi, wilayah tersebut harus stabil dan aman. Lahan harus dibebaskan.
Cina dan Myanmar memiliki kesamaan pandangan untuk bersikap lebih keras terhadap Rohingya Muslim, menjalankan rencana yang telah ada (The Ecologist). Pipa besar dan panjang yang akan mengalirkan minyak dan LNG ke Cina dibawah BUMN eneriy China (CNPC). Membangun “deep sea port” di Kyaupyu, di pelabuhan Rakhine wilayah Rohingya yang memberi akses ke Lautan Hindia, senilai, 7.3 milyar dolar – serupa dengan Deep Sea Port yang akan dibangun di Meikarta. Termasuk pembangunan “wilayah Industri” – mengikuti proyek Global Cina – “One Belt, One Road” total senilai 1 Triliun dollar bagi pembangunan Myanmar (TNYT).
Progran “ethnic cleansing” dijalankan makin massif untuk mengusir penduduk Rohingya. Penduduk Rohingya dengan berbagai cara terusir, mengungsi, dihabisi dan sebagian melawan dengan senjata seadanya.
Setiap laporan PBB di Dewan Keamanan untuk menyelidiki pembantaian penduduk Rohingya di Myanmar, akan ditolak oleh China. Negara-negara Barat pun mendua, tidak sepenuh hati, karena ada kepentingan Korporasi mereka di wilayah konflik dan sumber hidrokarbon, oil, LNG, jalur pipa minyak dan pelabuhan.
“This includes ethnically cleansing the Rohingya coastal communities in Kyaukpyu, Rakhine. “Much of the attention has been on the pipeline’s diagonal path across Burma and the role of the military in securing it”, reports Forbes. “But there are also concerns about the impact on Kyaukpyu and other coastal areas.”
Nafeez Ahmad PhD dari The Sydney Herald Tribune menyebut Rohingya sebagai “korban” Geopolitical Tug Of War” di Asia selain memang sentimen agama yang dikobarkan di Myanmar karena Islamofobia.
“Rohingya korban “Geopolitical Tug Of War”, berada di waktu dan tempat yang salah – ada kandungan Hidrokarbon dan tarik-tarikan pengaruh di wilayah ekonomi.”[]