NasionalPos.com, Jakarta– Fenomena booming harga komoditas tambang maupun perkebunan mendorong peningkatan aset bagi pemilik usaha. Dus, mereka yang masuk dalam golongan orang kaya akan bertambah kaya. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Pers, Minggu 9/4/2023.
“Kenaikan jumlah miliarder menunjukkan bahwa booming harga komoditas tambang maupun perkebunan meningkatkan aset orang kaya, justru disaat sebagian besar penduduk alami tekanan pandemi,” ujarnya.
Tak sedikit, kata Bhima, yang mendadak kaya raya ketika harga batu bara melonjak dari US$78 per metrik ton di 2020 menjadi US$458 per metrik ton di 2022.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi ekonomi Indonesia turun minus 2,07% saat pandemi, tapi orang kaya mampu mengakumulasi aset secara cepat,” kata dia.
Keberadaan miliarder di Indonesia, lanjutnya, justru menimbulkan banyak masalah. Pertama, persoalan ketimpangan akan makin lebar dan berakibat pada stabilitas politik dan keamanan.
“Jika jurang antara the have dan the have not makin lebar, bisa mengakibatkan negara gagal (failed states),” terang Bhima.
Kedua, jumlah orang kaya bertambah tapi rasio pajak sulit naik. Itu artinya tidak berkorelasi antara peningkatan miliarder baru dengan penerimaan pajak secara signifikan. Padahal secara teori itu akan memberi dampak bagi penerimaan pajak.
“Ketiga, harta kekayaan miliarder tidak sepenuhnya disimpan di dalam negeri, sebagian terindikasi melibatkan perusahaan cangkang, hingga terindikasi melakukan penggelapan pajak seperti terungkap dalam laporan Panama Papers,” pungkas Bhima.
Pernyataannya itu berkaitan dengan laporan Forbes yang menempatkan Indonesia di posisi 20 sebagai negara dengan jumlah miliarder terbanyak. Tercatat jumlah miliarder di Indonesia mencapai 29 orang, berkurang satu dari tahun sebelumnya.