Oleh : Rijal
Ketum Komando Barisan Rakyat (KOBAR)
HARI ini tanggal 10 Desember adalah hari dimana seluruh dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM). Menjelang peringatan HAM se-dunia, Tanah Air bahkan dunia juga dikejutkan dengan peristiwa penembakan enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat kepolisian. Kejadian di ruas tol Cikampek KM 50 ini masih diselimuti misteri. Ini tamparan keras bagi negara untuk penegakan HAM.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemakaman Syuhada enam Laskar FPI telah selesai. Namun, soal tindakan penembakan terhadap korban oleh aparat kepolisian masih menjadi pertanyaan bagi banyak kalangan. Sejumlah kejanggalan terungkap seputar peristiwa yang menjadi sorotan media Tanah Air maupun internasinal itu.
Karena itu, penembakan yang berujung kematian terhadap Faiz Ahmad Syukur (22), Andi Oktiawan (33), M.Reza (20), Muhammad Suci Khadavi Poetra (21), Lutfhil Hakim (24), dan Akhmad Sofiyan (26), mesti diusut tuntas.
Pihak kepolisian menyatakan tindakan penembakan itu merupakan reaksi atas penyerangan yang dilakukan pengawal Habib Rizieq. Polisi menyebut, penyerang menggunakan senjata berupa pistol dan senjata tajam lainnya.
Namun, hal itu dibantah keras oleh FPI bahwa tidak ada penyerangan yang dilakukan oleh para laskar. Apalagi, menyerang menggunakan senjata. Karena, soal penggunaan senjata tajam maupun senjata api terlarang bagi setiap anggota FP dan itu tertulis jelas di kartu anggota FPI.
Terlepas dari pendapat kedua pihak tersebut, bagi KOBAR, penembakan itu dapat dikategorikan tindakan terlarang atau dilarang keras karena bertentangan dengan ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM). Baik, HAM internasional, maupun peraturan perundang-undangan nasional. Karena, tindakan itu sebagai tindakan extra judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan.
Tindakan terlarang semacam itu, dimuat dalam Deklarasi Universal HAM, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Begitupun dalam UUD 1945 yang menjamin hak hidup setiap Warga Negara Indonesia, sehingga itu merupakan non-derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi apapun keadaannya). Begiutpun dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menjamin hak untuk hidup setiap orang.
Akibat kematian para Syuhada tersebut, maka agak sulit menegakkan keadilan dalam mengungkap pihak yang bersalah. Enam Laskar FPI yang tewas, tentu sudah tak mungkin dimintai keterangan soal apa sebenarnya yang terjadi. Itulah salah satu alasan, mengapa tindakan penembakan terhadap para Syuhada tidak dibenarkan. Di atas semua itu, ini menyangkut nyawa manusia dan hanya Allah SWT yang berhak atas kehidupan dan kematian manusia.
Meski begitu, KOBAR masih menaruh herapan besar kebenaran akan terungkap melalui mekanisme hukum. Untuk menemukan kebenaran, maka KOBAR mendesak agar segera dibentuk Tim Independen Pencari Fakta. KOBAR tak ingin, peristiwa pelanggaran HAM terus berulang tanpa penyelesaian. Kasus Tangjung Priok, kerusuhan Mei 2019 di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu. Kasus Paniai di Papua dan lainnya masih menjadi pekerjaan rumah rezim.
KOBAR tak ingin, warga negara merasa tak nyaman dan tak aman dalam menjalankan aktivitasnya. Terlebih, bagi kelompok kelompok kritis. Meski bagi KOBAR dan para aktivis lainnya, tak ada kata mundur untuk tetap kritis demi kemajuan bangsa dan negara. Karena itu, kasus ini harus diungkap tuntas dengan proses yang transparan serta menyeret pelakunya ke balik jeruji melalui Pengadlan HAM demi tegaknya hukum di negara Pancasila ini.
KOBAR selalu berdoa, semoga kelak kita semua bisa bertemu para Syuhada di surganya Allah. Selamat jalan sobat, selamat jalan para Syuhada, jasa dan baktimu bagi agama, bangsa dan negara tak akan sia-sia. (*)