NasionalPos.com, Jakarta- Polemik di tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau masih terus bergulir. Warga yang disebut-sebut telah tinggal sebelum Indonesia dinyatakan merdeka terancam digusur demi proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Proyek itu dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa menarik investasi besar dengan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Warga dari 16 kampung Melayu di Rempang itu masih menolak penggusuran itu hingga saat ini. Pada 7 September lalu penolakan itu berujung bentrok dengan kepolisian. Sebanyak 43 warga ditangkap dianggap provokator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penangkapan dan tindakan represif itu mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak maupun dari berbagai kalangan, salah satunya dari Badan Penyelaras dan Pengawal Pembangunan Kepulauan Riau – Jakarta (BP3KR JAKARTA), melalui Syahzinan,SE juru bicara dari BP3KR Jakarta, saat di temui wartawan ia mengatakan bahwa ketika dibentuk BP. Batam, telah tercatat dalam sejarah bahwa Pulau-pulau Batam, Rempang dan Galang bukanlah pulau kosong penduduk.
Setidak-tidaknya pulau-pulau tersebut telah 500 tahun berpenghuni Bangsa Melayu, hal ini dapat dibuktikan diantaranya Pusat pemerintahan nenek moyang Rempang dan Galang bertempat di Pulau Bulang dipimpin seorang Temenggung. Masyarakatnya tersebar di pulau-pulau yang sekarang disebut Kampung-Kampung Tua. Tengku Husen, Putra Sulung Sultan Riau Lingga, Sultan Mahmud III menetap di Pulau Bulang. Pada tanggal 6 Februari 1819, Tengku Husen dilantik oleh Raffles menjadi Sultan Kerajaan Singapura;
“Bahwa secara dimensi kesejarahan, sungguh ironi karena keberadaan Camp Pengungsi Vietnam di Pulau Galang dipertahankan padahal belum lebih dari 50 tahun. Sebaliknya, keberadaan kampung-kampung tua yang sudah berusia 500 tahun malah akan digusur dan penduduknya di relokasi.”ungkap Syahzinan,SE kepada wartawan, Jumaat, 15/9/2023 di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Lebih lanjut Syahzinan, SE, mengatakan bahwa berdasarkan latar belakang sejarah tersebut, serta juga seiring dengan tuntutan penduduk Kampung Tua Pulau Rempang dan Galang yang menolak relokasi dan penggusuran, maka BP3KR Jakarta Mendesak dan Meminta Presiden Republik Indonesia untuk Membatalkan Proyek Eco City di Rempang dan Galang, karena wilayah tersebut bukanlah Tanah Negara melainkan Tanah Hak Ulayat adat istiadat masyarakat Melayu tempatan yang diakui dan diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria,
selanjutnya pihaknya juga Menolak rencana pembangunan Proyek Eco City di Rempang dan Galang yang dikaitkan dengan Pembangunan industri kaca, yang bahan bakunya adalah pasir pantai dan pasir laut. Eksploitasi pasir secara besar-besaran dan berjangka panjang secara signifikan berpotensi menghilangkan peluang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi andalan modal pembangungan Provinsi Kepulauan Riau, serta juga berdampak merusak alam lingkungan hidup Masyarakat setempat.
“ Selain itu, BP3KR Jakarta juga mendesak kepada DPR-RI untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) dalam persoalan Rempang – Galang Batam di Provinsi Kepulauan Riau, dan juga mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk membebaskan tanpa syarat apa pun semua warga masyarakat yang ditangkap dan ditahan oleh Polda Kepulauan Riau, karena pada hakikatnya mereka mempertahankan dan membela Marwah Melayu, ini penting sekali kami suarakan dalam suatu tuntutan karena ini terkait dengan Hak Azasi Manusia yang dilindungi Undang-Undang dan Pancasila sila ke5.”tukas Syahzinan, SE.
Bukan hanya itu, sambung Syahzinan SE, pihaknya juga mendesak kepada Pemerintah dan Komnas HAM, untuk segera Membentuk Tim Independen Gabungan Pencari Fakta untuk melakukan investigasi adanya indikasi terjadi pelanggaran HAM baik sebelum maupun ketika dalam aksi demo tanggal 7 & 11 September 2023 di Batam, kemudian pihaknya juga mengingatkan Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Riau bahwa pembentukan Provinsi Kepulauan Riau adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutamanya warga tempatan tidak terkecuali warga Rempang dan Galang yang juga ikut berjuang ke Jakarta, dari tuntutan yang di sampaikan tersebut, apabila tidak ada tanggapan serius dari Pemerintah Pusat, DPR RI, DPD RI, Komnas HAM maupun institusi negara yang lain, untuk segera menyelesaikan masalah Rempang-Galang di Batam Kep Riau,
“Maka sebagai bagian dari Masyarakat International, dengan berat hati kami akan mengajak seluruh komponen Masyarakat Melayu baik di Jakarta maupun di manapun berada, untuk bersama-sama membawa Persoalan Pulau Rempang-Galang ini ke Mahkamah International, dengan harapan agar masyarakat International dapat memberikan teguran keras kepada Pemerintah Indonesia, untuk menolak rencana pembangunan Proyek Eco City dan agar lebih memprioritaskan melindungi Pulau Rempang-Galang beserta masyarakat warga negara Indonesia dan alam lingkungan hidupnya dari ancaman penggusuran atau bahkan dugaan ancaman pemusnahan demi kepentingan investasi ataupun kepentingan lainnya yang sangat merugikan Masyarakat Pulau Rempang-Galang tersebut, jujur kami meragukan kebijakan aparat pemerintah dalam menyelesaikan masalah Pulau Rempang-Galang, karena seperti yang lalu-lalu penyelesaiaannya nggak tuntas dan korbannya adalah rakyat, maka dari itu persoalan ini bakal kami bawa ke Mahkamah International”pungkas Syahzinan, SE.