Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal.(Foto:Ist)
Nasionalpos.com, Jakarta – Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengkhawatirkan kondisi ekonomi terganggu jika aksi unjuk rasa terus berlanjut, apalagi diteruskan dengan mogok kerja buruh. Sebagaimana diketahui, kondisi ekonomi tumbuh lambat selama pandemi corona dan akan makin terjerembab jika dihantam unjuk rasa dan mogok kerja.
Hal tersebut disampaikan Mohammad Faisal dalam rilis tertulisnya, Rabu (7/9/2022) menanggapi seruan mogok nasional oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat berorasi di depan gedung DPR/ MPR (6/9). Seruan mogok nasional dengan target perekonomian lumpuh dilakukan jika pemerintah menolak tuntutan buruh yang terdiri dari:
1. Tolak kenaikan harga BBM;
2. Tolak omnibus law UU Cipta Kerja
3. Naikkan UMK 2023 sebesar 10-13%.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Syaratnya gampang, setop produksi, lumpuh ekonomi. Di sini ada pengemudi, bus, DAMRI, saya akan instruksikan mereka setop operasional. Kita galang kekuatan dengan mahasiswa, kita akan ajak mahasiswa,” ujar Said Iqbal.
Lebih lanjut Mohammad Faisal berpandangan bahwa ia bisa memahami protes buruh terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Namun dampaknya pun mesti dipertimbangkan.
“Saya tidak sepakat kalau demo ini sampai anarkis, sampai kemudian menghambat perekonomian semakin memperkeruh keadaannya,” ujarnya.
Dampak pandemi terhadap ekonomi
Pandemi covid-19 tidak hanya menganggu kesehatan, namun juga berdampak pada tatanan ekonomi semua negara. Dampak pandemi terhadap ekonomi bisa menyebabkan rendahnya sentimen investor terhadap pasar yang akhirnya membuat pasar ke arah negatif.
Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut juga bisa diikuti dengan dampak ekonomi lain seperti peningkatan pengangguran. Hal ini dikarenakan saat pandemi banyak perusahaan yang terganggu. Sehingga banyak karyawan yang terpaksa dirumahkan.
“Dengan adanya penyesuaian, saya lebih sepakat subsidi BBM dialihkan ke sektor yang lebih produktif daripada dibakar di jalan raya,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan kepada wartawan, Selasa (30/8).
Selain membebani APBN, Mamit khawatir anggaran subsidi bisa lebih dari Rp 502 triliun, atau menembus batas maksimal yang ditentukan.
“Dari awal (anggaran subsidi) tidak sampai Rp 200 triliun, sekarang sudah Rp 500 triliun. Ini sudah sangat tinggi dan memberatkan sekali,” sambungnya.
Oleh karenanya, ia sepakat dengan adanya pembatasan dan pengurangan, subsidi agar beban negara tidak terlalu berat. Apalagi, subsidi yang selama ini dikucurkan pemerintah belum tepat sasaran.
“Dana APBN kita begitu besar untuk hal seperti ini (subsidi BBM). Subsidi kita jadi kontraproduktif, jadinya memperelebar kesenjangan sosial. Yang menikmati (subsidi) ya orang-orang yang kaya, yang mampu,” pungkasnya.(red)