NasionalPos.com, Jakarta – Pihak berwenang Xi’an, China, dilaporkan menangkap puluhan orang diduga menyebarkan ‘”rumor” negatif di dunia maya soal lockdown yang baru-baru ini diterapkan kota itu setelah mendeteksi sejumlah kasus Covid-19 baru.
Penangkapan ini dilakukan setelah otoritas setempat melarang warganya mengunggah konten negatif dan keluhan soal lockdown di Xi’an yang berlangsung menjelang gelaran Olimpiade Musim Dingin Beijing pada Februari.
Administrasi Cyberspace cabang Xi’an dalam situs resmi badan hukum Partai Komunis China (PKC), Chang’an, menyampaikan pihaknya telah memenjarakan seorang pengguna media sosial selama sepuluh hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka juga sedang menyelidiki “beberapa pelanggaran online yang terhubung dengan fitnah dan penyebaran rumor”.
“Administrasi Cyberspace Xi’an tengah bekerja sama dengan penegak hukum untuk secara intensif menyelidiki dan menangani pelanggaran online, seperti mengarang rumor, menghasut diskriminasi regional, dan menghina orang lain,” ujar pihak tersebut.
Dikutip Radio Free Asia, badan tersebut menyinggung penahanan seorang pria dengan marga Luo selama sepuluh hari. Lembaga tersebut mengaku penangkapan Luo dilakukan karena pria tersebut “dengan jahat mengarang informasi palsu, dan memfitnah personel pencegahan virus” dengan teman-temannya di media sosial.
Pihak berwenang menuding Luo menyebarkan klaimnya soal banyak orang meninggal dunia di jalan karena lockdown Xi’an. Orang dengan marga Zhang juga sempat dipenjara selama tujuh hari akibat memposting perkelahian antara warga dan kepolisian. Zhang mengklaim polisi menembaki orang hingga tewas.
“Cyberspace dan departemen keamanan publik akan bertindak tegas dengan rumor online, serangan jahat, dan tren terkait pandemi,” kata Administrasi Cyberspace dalam sebuah pernyataan.
Selain Luo, seseorang dengan marga Yu dinilai juga ditangkap karena dianggap menggunakan bahasa yang menghina dalam grup WeChat mereka bernama ‘Asosiasi Roti Kukus Xi’an’ soal lockdown, kata kepolisian daerah itu dalam sebuah pernyataan.
“Riwayat obrolan (mereka) tersebar, mengganggu ketertiban umum, dengan dampak sosial negatif,” tutur kepolisian Xi’an.
Badan itu juga menuturkan Yu dipenjara selama tujuh hari di bawah “penahanan administratif.”
Dakwaan ini dapat diberikan oleh polisi tanpa melalui pengadilan untuk berurusan dengan yang mereka nilai sebagai “pembuat onar”.
Penangkapan juga terjadi pada dua orang bermarga Qin dan Sun karena menggunakan “bahasa yang menghina” untuk mendiskusikan kenaikan harga roti kukus di grup WeChat. Mereka pun dipenjara selama sepekan.
Selain menangani “penyebar rumor” di media sosial, kepolisian China juga menahan masyarakat yang menghina petugas.
Seorang pria dengan marga Bai dijatuhi hukuman administratif selama 13 hari karena menghina staf pencegahan virus yang menghalau pria itu keluar dari wilayah tempat tinggal.
Dua orang bermarga Wang dan Gue juga dipenjara selama sepuluh hari oleh kepolisian distrik Lintong karena mendorong staf kala mengantre untuk tes Covid-19. Seorang pria dengan marga Ke juga mengalami hukuman yang mirip karena menyetir keluar dari batas garasi perumahan.
Pengamat urusan Beijing, Ji Feng, menilai sensor internet China secara khusus berfokus pada apa yang disampaikan pengguna media sosial kepada pengguna lain di percakapan privat, terutama menjelang Olimpiade Musim Dingin di Beijing.
Pemerintah menargetkan postingan atau komentar apapun terkait Xi’an, terutama yang disampaikan oleh orang-orang di Xi’an, tutur Xi’an.
“Anda tak bisa membicarakan pandemi, dan bahkan saat Anda tak membicarakan hal itu, mereka menutup grup apapun yang memiliki energi negatif,” kata Ji.
Sejak beberapa pekan terakhir, semakin banyak warga China yang mengeluhkan kebijakan nol Covid-19 pemerintah. Sebab stategi itu menerapkan lockdown ketat di suatu kota atau provinsi ketika mendeteksi infeksi virus corona baru meski dalam jumlah sedikit.
Lockdown membuat masyarakat bah diizinkan pergi dari rumah kecuali untuk membeli makanan dan kebutuhan pokok. Meski begitu, pihak berwenang dikabarkan mengatur seberapa sering warga boleh keluar untuk membeli kebutuhan pokok.
Bahkan, ada beberapa warga yang ditolak masuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan karena mereka tak memiliki hasil tes Covid-19 yang valid atau tinggal di daerah berisiko tinggi. (CNN Indonesia.com)