NasionalPos.com, Singaraja-Siang di Pegayaman kali ini tampak berbeda. Panasnya cuaca musim kemarau tak menghalangi antusiasme warga masyarakat untuk turut serta meramaikan tradisi mengarak sokok.
Mengarak sokok adalah tradisi purba turunan leluhur yang digelar sebagai ungkapan kebahagiaan dan rasa syukur masyarakat dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sepintas tradisi ini mirip dengan grebeg maulud yang lazim dilakukan oleh kaum muslim di pulau Jawa. Pembedanya adalah material yang digunakan dalam prosesi.
Jika grebeg maulud menitikberatkan pada hasil bumi yang menyimbolkan rasa syukur atas berkah kemakmuran yang dapat dinikmati bersama, telur pada arak-arakan sokok menyimbolkan Al-Quran dan haditsnya.
Tokoh masyarakat Desa Pegayaman, Ketut Muhammad Soeharto, mengatakan mengarak sokok adalah hasil akulturasi budaya dari leluhur masyarakat Pegayaman dan tradisi lokal yang telah lebih dulu ada di sana.
Oleh Soeharto, mengarak sokok disebut sebagai cara untuk membuat masyarakat yang bersedekah sokok itu bahagia. Apalagi tradisi ini hanya digelar setahun sekali.
“Mengarak sokok adalah tradisi untuk menghibur para pembuat sedekah sokok. Nilai utamanya adalah untuk memberikan rasa bahagia, bentuk dukungan, serta wujud syukur dari dan kepada masyarakat yang membuat sedekah sokok,” terangnya kepada wartawan, Kamis 28/9/2023 di Singaraja.
Tradisi ini dirayakan secara meriah oleh masyarakat Desa Pegayaman. Beberapa warga yang merantau bahkan tampak menyempatkan diri pulang sejenak untuk turut serta meramaikan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di kampung halaman.
Mengarak sokok diketahui telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI pada 10 Januari 2022 silam.
Telah ada sejak tahun 1648, tradisi mengarak sokok terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Pegayaman tiap tahunnya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini sepintas mirip dengan grebeg maulud yang dirayakan oleh kaum muslim di pulau Jawa.