NasionalPos.com, Jakarta– Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa status Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP tidak menjamin sebuah daerah atau lembaga terbebas dari kasus korupsi di Kota Malang, Jawa Timur, Jumat 23 September 2022 kemarin.
Pernyataan Menkopolhukam tersebut, justru mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak, salah seorang diantaranya, ada tanggapan dari Pengamat Sosial dan Perkotaan Drs Primus Wawo, MSi, kepada awak media yang menghubunginya, ia mengatakan bahwa status opini WTP, tidak bisa menjadi parameter suatu daerah baik itu Provinsi, Kabupaten maupun Kota dikatakan bersih buktinya banyak daerah yang dikasih opini WTP oleh BPK dalam pengelolaan anggaran daerah,
“Justru banyak terindikasi kasus korupsi dan kepala daerah jadi langganan masuk penjara, dan ini bukan rahasia umum lagi, melainkan suatu realitas yang memprihatinkan, sehingga masyarakat pun menjadi bertanya-tanya sebenarnya manfaat dari status opini WTP itu apa?”ungkap Primus Wawo kepada awak media, Senin, 26/9/2022 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Primus, ada beberapa daerah yang setiap tahun mendapatkan status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Selain Provinsi Papua, Prestasi itu juga diraih oleh Provinsi DKI Jakarta, yang selama kepemimpinan Anies Baswedan setiap tahunnya, BPK RI selalu memberikan predikat status opini WTP kepada Pemprov DKI Jakarta, dan ini merupakan prestasi membanggakan dalam pengelolaan keuangan daerah, namun permasalahannya, Predikat WTP itu bukan menjamin tidak adanya korupsi. WTP itu, hanya kesesuaian transaksi yang dimasukkan ke dalam laporan keuangan. Kesesuaian transaksi, yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan, itu berbeda, jika ada transaksi yang dilakukan, kemudian lembaga atau institusi tersebut meminta jatah fee proyek ke pemenang tender.
Dari sanalah, lanjut Primus, akhirnya terjadi transaksi keuangan dari pemenang tender ke lembaga atau institusi, melalui salah satu oknum orang yang ada di dalamnya, Ada yang tidak ditransaksikan, kemudian, ada kick back, sudah ditransaksikan, misalnya ada proyek penyelenggaraan balapan mobil listrik (Formula E), kontraknya sudah benar, transaksi sudah benar dan pembukuannya juga benar, tapi yang menjadi pertanyaannya apakah ada kick back yang diperoleh Pemprov DKI Jakarta, yang terkadang luput dari pemeriksaan audit BPK, sehingga hal ini bisa menjadi pekerjaan bagi KPK untuk melakukan penelusuran terhadap penyelenggaraan kegiatan Formula E tersebut, sehingga KPK perlu memanggil Gubernur Anies Baswedan untuk dimintai keterangan sekaligus melakukan penelusuran mengenai ada tidaknya kick back yang diberikan oleh lembaga penyelenggara Formula E Operation (FEO) ke Pemprov DKI Jakarta.
“Itu sebuah contoh saja bahwa setiap pejabat kepala daerah yang dipanggil KPK tidak bertendensi politik karena orang awam juga tau dan paham hukum kalau memang ada fakta fakta dalam pemeriksaan yang dinilai sudah memenuhi unsur unsur pidana pasti KPK akan menetapkan status tersangka, sebaliknya kalau tidak memenuhi unsur unsur yang menjadikan tersangka tentunya KPK tidak akan menetapkan status tersangka”tukas Drs Primus Wawo, MSi yang juga Tokoh di ormas Flobamora di Jakarta
Karena itu, lanjut Primus, sudah sepatutnya seluruh elemen masyarakat harus mendukung KPK untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan tindak pidana korupsi yang disinyalir terdapat pada penyelenggaraan suatu proyek yang dibiayai baik oleh APBN, APBD maupun oleh pihak swasta dalam negeri dan juga luar negeri, hal ini perlu dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi sebagai bentuk penegakan hukum yang diharapkan oleh publik, selain itu juga masyarakat juga memiliki hak dan bahkan berkewajiban untuk turut mengawasi hasil audit pengelolaan keuangan daerah oleh BPK, yang memberikan status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), agar jangan sampai predikat tersebut menjadi ajang untuk menutupi terjadinya dugaan praktek korupsi, gratifikasi, kick back maupun suap dalam penyelenggaraan program kegiatan yang sumber dananya dari uang rakyat, sebab itulah pemberian status opini WTP harus dievaluasi, apakah keputusan pemberian hasil audit BPK dengan status opini WTP itu obyektif atau subyektif dan bahkan diduga manipulatif, sebab realitasnya muncul kasus jual-beli WTP seperti yang terjadi pada Bupati Bogor Ade Yasin, hanya demi prestise, terjadilah praktek jual-beli WTP yang juga melibatkan Auditor BPK, dan masalah ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada daerah lain, yang belum terungkap.
“ Agar tidak terjadi pemberian WTP sebagai ajang manipulatif, dan menutupi dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan negara maupun daerah, maka diperlukan adanya partisipasi masyarakat, yakni akademisi, LSM seperti ICW atau LSM yang berkompeten dan juga melibatkan institusi negara lainnya, yakni KPK dan Kejaksaan Agung, dengan membentuk team khusus membantu BPK agar pemberian status WTP tersebut benar-benar obyektif, dan dapat menjadi wahana untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan negara”tukas Primus.
Diakhir perbincangan dengan wartawan, Primus menyampaikan pernyataan bahwa perlunya dukungan semua pihak untuk melakukan pengawasan maupun pemantauan agar WTP tidak menjadi ajang prestise dan juga ajang capaian prestasi semu pengelolaan keuangan negara maupun daerah
“Mari kita dukung KPK dan BPK untuk bersama-sama mencegah terjadi korupsi dalam pengelolaan keuangan baik di instansi pemerintah pusat, maupun di instansi pemerintah daerah, ya, kalau pemberian status WTP itu tanpa adanya melibatkan instansi KPK, Kejaksaan Agung dan juga partisipasi dari kalangan akademisi dan LSM, ya lebih baik, pemberian status WTP itu ditiadakan saja, buat apa ada WTP tapi ternyata terbongkar adanya korupsi, karena itu, lebih baik mencegah korupsi dari pada memperbanyak daftar kepala daerah maupun pejabat negara yang terlibat kasus korupsi. ujar Primus Wawo, yang juga mantan pejabat Pemda Provinsi DKI Jakarta (*dit)