NasionalPos.com, Jakarta– Penegakan HAM merupakan salah satu agenda demokratisasi yang belum sepenuhnya tercapai. Pelanggaran-pelanggaran HAM berat seperti Tragedi 1965 masih belum jelas sehingga penyelesaian nonlitigasi (pengakuan dan kompensasi), dianggap sebagai solusi yang terbaik. Pengakuan negara melalui pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, dapat dianggap sebagai bentuk tanggungjawab Negara untuk menghormati HAM dan menjadi batu loncatan untuk mengungkap tragedi HAM lainnya,
Akan tetapi yang lebih dari itu adalah bagaimana negara dapat mengungkap lebih dalam tentang peristiwa berdarah 1965 tersebut secara holistic, komprehensif dan tentunya dalam perspektif filsafat sosial, sehingga dapat merumuskan pengungkapan secara obyektif, ilmiah serta tanpa tendensi politis apapun, demikian disampaikan Setyoko pemerhati Sejarah Independen kepada nasionalpos.com, Selasa, 24/1/2023 di Jakarta.
“Jika mengamati dan menelaah tragedy 1965, tidak bisa di cermati dari satu sisi saja, tapi mesti di lihat dari suatu rangkaian peristiwa sosial dan politik sebelum dan pasca terjadinya tragedy tersebut, ini penting sekali agar tidak terjebak pada perdebatan berkepanjangan serta juga stigma berkepanjangan bagi pihak-pihak yang terlibat di peristiwa kelam tersebut”ucap Setyoko.
Menurut Setyoko, apabila membaca ‘peristiwa 1965’ di Indonesia, maka sudah semestinya juga dicermati soal keterhubungan antara peristiwa itu dengan faktor dunia internasional. Namun, keterhubungan itu, seperti sering dikemukakan banyak orang, tidak sesederhana ‘konteks perang dingin’, yang terjadi saat itu antara Amerika Serikat VS Uni Sovyet, antara Kapitalisme Vs Komunisme, tentunya kondisi tersebut berimbas pada kondisi politik di Indonesia, nah, dirinya mencermati bahwa Sebelum peristiwa G30S 1965, seperti informasi yang diperolehnya dari berbagai sumber maupun literasi yang menyebutkan adanya dugaan Amerika Serikat melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok, dan rencana-rencana pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah adanya dugaan keterlibatan AS dalam menyokong militer kanan dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an,
Selain itu, kata Setyoko, dalam melakukan aksinya itu, diduga AS juga bekerjasama dengan sejumlah intelektual berorientasi barat di Indonesia, yang kecewa dengan pembubaran Demokrasi Parlementer. Bukan hanya itu, ada indikasi pemerintah AS melalui lembaga-lembaga kemanusiaannya, dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba ‘merayu’ Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi, dan teknis, dengan harapan bisa membawa Indonesia ke pangkuan barat, namun niat itu ternyata benar-benar pupus, ketika Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris), sedangkan Di sisi lain, diduga politik luar negeri Indonesia saat itu cenderung ke Cina,
Pada Agustus 1964, dari informasi yang diperolehnya, disebutkan adanya indikasi AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI. Saat itu, pihak intelijen AS menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup,
“Dari pengamatan saya, saat itu, pihak Amerika diduga juga mulai melancarkan provokasi kepada Politbiro PKI/Aidit bisa diprovokasi lewat Dok Gilchrist, yang kemudian diprovokasi dan digoreng oleh Soebandrio, Sutarto, Syam, dan ternyata provokasi itu berhasil mendorong tokoh-tokoh PKI untuk membangun kekuatan ” ucap Setyoko.
Ketika itu, Lanjut Setyoko, informasi yang dia peroleh menyebutkan bahwa pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia, diduga AS dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia.
Dugaan bahwa AS dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua, mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll),
Selain itu, dirinya juga mendapatkan informasi bahwa seiring dengan berjalannya operasi provokasi tersebut, Jauh sebelum Peristiwa G-30-S 1965, diduga Soeharto sudah lakukan penetrasi — “tanam” orang-orangnya di organisasi PKI, baik itu di Comite Central PKI maupun CDB PKI. Makanya diduga Soeharto dengan cepat sekali dapat antisipasi manuver-manuver Pasukan G-30-S 1965 serta Elite G-30-S 1965. Info-info mutakhir terkait dengan rencana Elite Politbiro CC PKI serta Elite G-30-S selalu mengalir ke pihak Soeharto.
“Bung Karno sudah mengetahui adanya provokasi Amerika Serikat, baik ke tubuh PKI maupun di tubuh tentara, namun sayang sekali Bung Karno terlambat dalam mengambil langkah pencegahannya, sehingga situasi yang diciptakan oleh pihak asing, justru menjadi boomerang bagi dirinya”tutur Setyoko.
Setyoko juga menjelaskan bahwa Ikhtiar Bung Karno yang sia-sia dengan menerbitkan SP 13 Maret 1966, yang intinya mencabut SP 11 Maret 1966, seharusnya Soeharto dipecat, itu pun jika sampai dipecat Soeharto tak akan tinggal diam, ia pasti melawan. Karena keluarnya SP 11 Maret 1966 itu dilatarbelakangi oleh rencana Bung Karno yang segera copot Soeharto selaku Pangkopkamtib yang rangkap jabatan sebagai Menpangad., hal itu dapat dibuktikan adanya rapat pengondisian keluarnya SP 11 Maret 1966 itu diadakan pada 8 – 9 Maret 1966 dengan melibatkan sejumlah politisi sipil di MBAD, yang Boleh disimplifikasi sebagai adanya dugaan puncak kudeta militer, pasca tahap awal pd Gestok 1965, sedangkan kudeta politisnya di MPRS pd 1967/68. Provokasi dari asing dapat dilihat dari peran media BPI, BCC, dll.
Setyoko mengungkapkan bahwa bung Karno sudah sangat terlambat copot Soeharto, sehingga saya menduga Soeharto dan klieknya dapat melakukan konsolidasi secepatnya dan lakukan langkah-langkah konkret di lapangan. Kalau menggunakan Bahasa filsafat sosial bahwa pidato/surat Bung Karno itu dilawan dgn kekuatan senjata & ops intel ala Soeharto, ya yang unggul pihak Soeharto, bukan pihak Sukarno,sedangkan bahasa Dialektikanya begini, Pidato/Surat BK adalah ide, sedangkan Kekuatan Senjata/Ops Intel Soeharto adalah materi. “Materi Yang Menentukan Ide.”
Begitulah imbuh Setyoko, jika memakai perspektif filsafat sosial, dan dapat disimpulkan bahwa tragedy berdarah 1965 tersebut, dipemicu oleh provokasi yang kemudian diciptakan sebuah asumsi yang terindikasi fitnah, karena sampai sekarang, tragedy 1965 itu dibuat gelap gulita, Nah peran negaralah untuk membuka tabirnya agar tidak terjadi stigma atau asumsi negative yang diwariskan dari generasi ke generasi bangsa ini, dan juga sebagai pembelajaran bagi kita semua agar tidak mudah terprovokasi kemudian bisa mendorong lahirnya asumsi hingga berakibat munculnya tragedy.
“Kita semua sangat berharap jangan sampai terulang kembali tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi tahun 1965 silam, hanya gara-gara provokasi asing, sesama anak bangsa berseteru, berkonflik, hingga mengakibatkan jutaan nyawa mati sia-sia, dan keturunannya harus mengalami stigma kelam, ini harus diakhiri, dan dituntaskan penyelesaiannya”pungkas Setyoko mengakhiri perbincangannya.