NasionalPos.com, Jakarta– Memperingati hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945 seharusnya juga disertai refleksi yang jujur dari segenap pemuka masyarakat dan penyelenggara negara terhadap tujuan dan cita-cita (end-goals) pancasila sebagai norma fundamental negara (state fundamental norm) yaitu terwujudnya masyarakat yang berkelimpahan akan keadilan dan kemakmuran, masyarakat yang penuh toleransi sama rasa-sama bahagia, atau dalam bahasa klasik sebagai “gemah ripah loh jinawi“. Tak lengkap rasanya bila memperingati hari lahir Pancasila, tanpa menghayati sungguh-sungguh semangat kebatinan, filosofi dasar, tujuan bahkan mungkin juga “musuh-musuh” pancasila. Mengingat pancasila sebagai “working-ideology” dan kaidah berbangsa tidak berada di ruang kosong tetapi eksis ditengah masyarakat global yang sangat dinamis, beragam, dan penuh kontradiksi, demikian disampaikan Bob Randilawe mantan Staf Ahli BPIP, kepada pers, Rabu, (1/06/2022) di Jakarta.
“Pancasila adalah falsafah dan cita-cita otentik bangsa nusantara yang cinta damai namun lebih cinta kemerdekaan.” ucap Bob Randilawe yang juga Wakil Ketua Umum Gerakan Bhineka Nasionalis.
Menurut Bob, Ir. Sukarno sebagai penggalinya menegaskan dalam pidato 1 Juni 1945, bahwa Pancasila “digali” dari lapis-lapis peradaban bangsa nusantara yang kini bernama Indonesia. Dan terdapat benang-merah dari setiap lapis peradaban tersebut, yaitu semangat GOTONG ROYONG, gotong royong inilah merupakan esensi Pancasila. Satu untuk semua, semua untuk satu. Bersatu dalam keberagaman. Tunggal Ika dalam Kebhinnekaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bila diibaratkan sebuah pohon kelapa yang tumbuh subur di tanah tropis dan multi-kultur, maka dia (pohon kelapa) tak akan mungkin tumbuh subur di “padang pasir” atau bahkan negeri “bersalju” dengan 4 musim. Namun hingga kini Pancasila belum menjiwai setiap regulasi dan perundangan, pun belum dijiwai oleh seluruh penyeleneggara negara (state aparatus) baik di legislatif, yudikatif, dan terutama di eksekutif, sehingga kondisi tersebut memicu perilaku elit penguasa yang cenderung menjadikan pancasila sebagai “pentungan”, bahkan sekedar alat pemukul lawan-lawan politik pihak yang berkuasa.
“Penguasa (pemerintah) rezim manapun harus mengakhiri kebiasaan yang menjadikan Pancasila sekedar kosmetik dan “gincu” bagi kekuasaan dan tontonan menghibur bagi rakyatnya, ”tukas Bob Randilawe. Negara bertanggung jawab membumikan pancasila dan menjadikannya sebagai nafas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Karena itulah, lanjut Bob, sudah saatnya seluruh komponen bangsa terutama kalangan generasi Milineal untuk bersama-sama bergotong royong dengan penuh kesadaran kolektif maupun individu mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan juga substansi dalam PEMBUKAAN UUD45, secara kohesif dan penuh kesatuan antar pasal-pasal dan paragrafnya. Jangan dipilah-pilah sesuai kehendak atau kepentingan masing-masing kelompok. Rakyat sudah jenuh dengan janji-janji palsu para elit yang hanya mengurusi kepentingannya.
“Mari ubah paradigma kita dari cara berfikir “pergantian” setiap lima tahun sekali, menjadi cara berfikir PERUBAHAN”, pungkas Bob Randilawe yang di awal bergulirnya reformasi, menggawangi Gerakan Nasional Republik Indonesia atau GNRI bersama aktivis lintas Suku Agama dan Ras, serta lintas kalangan maupun generasi, yang turut juga melakukan reformasi bersama gerakan mahasiswa saat itu. (*dit)