NasionalPos.com, Jakarta — Seperti diberitakan oleh berbagai media massa, yang menyebutkan bahwa Sebanyak 40 orang petani dari Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) di Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko, di tangkap dan bahkan telah ditetapkan status sebagai tersangka oleh Polres Mukomuko, dengan tuduhan melakukan pencurian Tandan Buah Segar (TBS) di areal divisi 7 eks HGU yang sekarang dikelola PT. Daria Dharma Pratama (DDP), Kamis,(12/5/2022) pekan lalu.
Sementara itu, tindakan aparat keamanan yang melakukan penangkapan terhadap puluhan petani tersebut, justru mengundang reaksi berbagai pihak, dan juga mendapat respon dari Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan, kepada awak media, ia mengatakan rasa keprihatinannya dan sekaligus mengecam atas tindakan aparat kepolisian tersebut, yang justru dapat memperuncing konflik lahan antara petani dan perusahaan yang telah berlangsung belasan tahun dan tak kunjung selesai, karena itu dirinya mendesak agar pemerintah berlaku adil dan manusiawi terhadap petani .
“Sudah seharusnya pemerintah hadir untuk menyelesaikan konflik agraria terutama dalam sektor perkebunan yang sangat merugikan masyarakat, Saya sangat menyesalkan adanya. tindakan aparat keamanan yang melakukan penangkapan terhadap puluhan petani kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, yang seharusnya itu tak perlu terjadi”ucap Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kepada awak media, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 17/5/2022
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Johan, Seharusnya pemerintah menyadari bahwa 60% konflik agraria terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit dengan luasan lahan yang cukup besar dan selalu terjadi di sepanjang Pulau Sumatera dan Pulau lainnya, bahwa 60% konflik agraria terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit dengan luasan lahan yang cukup besar dan selalu terjadi di sepanjang Pulau Sumatera dan Pulau lainnya, dan realitasnya seringkali upaya penyelesaian sengketa lahan selalu gagal, bahkan seringkali petani juga mendapatkan kekerasan dan perlakuan yang tidak adil karena bargaining yang lemah dibanding perusahaan yang punya kuasa modal. Karena itu, dirinya mendesak aparat untuk bisa bersikap lebih manusiawi kepada petani karena mereka seringkali menjadi korban dalam situasi konflik lahan.
“Kasus di Bengkulu ini merupakan contoh dari sekian banyak kasus penguasaan lahan oleh perusahaan pemilik modal dengan masyarakat yang berprofesi petani sawit, dan lagi-lagi petani lemah menghadapi kekuatan modal,”tukasnya.
Dalam kasus lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang terjadi di Bengkulu, lanjut Johan, akibat lahan yang telah dikelola petani sawit diambil alih oleh perusahaan melalui keterangan akta pinjam pakai sehingga memunculkan konflik tanpa penyelesaian, dan mestinya pemerintah bisa mengurai benang kusut penyebab konflik dan selalu menghadirkan sikap yang adil bagi petani dan pihak mana pun serta membantu petani, karena mereka membutuhkan lahan perkebunan sawit dan berupaya meningkatkan sumbangsih perusahaan pada desa penyangga dan masyarakat sekitarnya.
“Saya menilai akar konflik ini terjadi akibat adanya kepemilikan lahan yang dianggap ditelantarkan dan belum digarap serta kegagalan mekanisme proses ganti rugi dari lahan yang menjadi sengketa, maka tindakan menangkap massal para petani sawit adalah tindakan gegabah dan sembrono dengan tuduhan pencurian, ketika petani panen di lahan konflik, untuk itu pemerintah harus segera hadir membantu proses penyelesaian konflik ini,”pungkas legislator dapil Nusa Tenggara Barat I ini. (*dit)