NasionalPos.com, Jakarta- Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ichsan Soelistio mengatakan Badan Legislasi DPR RI menerima surat permohonan harmonisasi RUU tentang Penyiaran dari Komisi I DPR RI. Surat nomor B/526/LG.01.01/10/2023 yang diterima tanggal 2 Oktober menjadi dasar bagi Baleg untuk memulai proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU.
“Sebelum dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan Legislasi tentu Baleg memerlukan penjelasan dari pengusul RUU terkait urgensi substansi dan hal-hal pokok lainnya yang menjadikan dasar pentingnya RUU tentang penyiaran untuk memperkaya pemahaman anggota Baleg dalam melakukan proses pengharmonisasian,” jelasnya saat memimpin rapat Pleno Penjelasan pengusul RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Pengusul RUU Penyiaran, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari menjelaskan Prolegnas tahun 2023 memang menyebutkan perintah untuk melakukan perubahan terhadap Undang – Undang nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan kajian Komisi I DPR yang didampingi tim asistensi Badan Keahlian DPR RI terhadap UU tentang Penyiaran diketahui teknik penulisan UU banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan berdasarkan UU nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undang sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UU nomor 13 tahun 2022 tentang perubahan kedua atas UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, lanjut Kharis menjelaskan, terdapat pasal yang menimbulkan multitafsir. Pertama, pasal tentang kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Pasal mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama pemerintah. Walaupun berdasarkan putusan MK akhirnya kewenangan itu dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
Pasal lain yang juga menimbulkan makna multitafsir adalah pasal tentang ketegasan kepada LPS untuk berjaringan. Terdapat pula pasal yang tidak harmonis dengan UU lainnya, misalnya pasal tentang kepemilikan silang antara LPS yang tidak harmonis dengan uu nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas,
dimana pasal 18 ayat 2 UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran diatur bahwa kepemilikan antara LPS baik langsung maupun tidak langsung dibatasi. Sedangkan untuk UU 40 tahun 2007 tentang PT diatur bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut diperbolehkan.
Komisi I menilai, substansi UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran sudah tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi di bidang penyiaran terutama terkait perubahan sistem penyiaran analog menjadi penyiaran digital.
“Berdasarkan hasil kajian diatas dapat disimpulkan bahwa materi peraturan perundang-undangan telah berubah lebih dari 50 persen, sistematika perundang- undangan yang telah diubah dan esensi telah berubah. Sehingga sesuai ketentuan lampiran nomor 237 UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka terhadap UU ini perlu dilakukan pergantian,”tegasnya.
Dalam melakukan penyusunan RUU ini, kami telah menyelenggarakan berbagai RDP, RDPU dengan pakar media komunikasi, praktisi media massa,lembaga penyiaran, komisi penyiaran indonesia dan stakeholder lainnya. Selain itu, untuk mendapat masukkan penyusunan, komisi I juga melakukan kunjungan kerja ke daerah dan kedua negara yaitu Turki dan Kuwait .
Berdasarkan landasan sosiologi yang menjadi dasar dari penyusunan UU tentang penyiaran yaitu spektrum frekuensi radio adalah milik publik dan merupakan sumber daya alam terbatas dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bahwa prinsip demokrasi dan otonomi daerah integrasi dan identitas nasional serta kemajemukan masyarakat menjadi panduan utama dalam penataan sistem penyiaran nasional.
“Hal lain yang menjadi pertimbangan sosiologi tentang penyiaran yang membedakan dengan UU 32 tahun 2002 adalah kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi penyiaran sehingga hal ini perlu dimasukan dalam draf pergantian ruu tentang penyiaran,” tegasnya.
Sedangkan berdasarkan landasan yuridis, Komisi I melihat UU ini sudah tidak sesuai perkembangan hukum, teknologi penyiaran dan kebutuhan hukum masyarkat sehingga perlu dibentuk uu yang baru.
“Sistematika RUU tentang penyiaran terbagi menjadi 14 BAB dan 149 Pasal. Demikian pokok-pokok materi tentang penyiaran yang telah selesai kami (Komisi I) susun, sesuai mekanisme penyusunan UU yang diatur oleh peraturan Tatib DPR RI, kami menyerahkan RUU tentang penyiaran pada Baleg untuk segera dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan,” pungkasnya.