Oleh : Yusuf Hasani
Anak Adat Kesultanan Ternate
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PADA masa lampau di suatu negeri dipimpin oleh raja- raja, disebut negeri para raja. Riwayat kehidupan masyarakat yang aman damai. Kekayaan alam berupa rempah-rempah menjadi incaran berbagai pihak di tempat jauh sebagai bahan dagangan dibelahan dunia. Kehidupan masyarakat dapat dikatakan bersahabat dengan alam. Kekayaannya dikelola secara baik oleh penguasa dan mengutungkan para petani, pedagang serta penguasa. Begitupun sosok sang raja yang amanah, wajahnya selalu dibasuh air wudu, taat pada adat istiadat utamanya ajaran agama Islam. Aura wajah yang teduh – penuh wibawa menghadirkan kesetiaan yang tulus, terlihat dari ketaatan para hulu balang ketika raja bertitah. Betapa indahnya kehidupan masyarakat di negeri para raja saat itu. Suasana nan indah segera berakhir pada waktu penjajah mulai menguasai perdagangan dan menaklukkan para raja dengan tipu muslihatnya.
Kaum pribumi menyadari kedaulatan negerinya sudah terganggu oleh ulah penjajah. Gendang perang ditabuh pertanda perlawanan pribumi terhadap penjajah. Perang fisik berlangsung dalam waktu yang lama, hanya bermodalkan peralatan seadanya, (parang, salawaku dan tombak), korban-korban berjatuhan. Pekik takbir berkumandang diberbagai tempat demi memperkuat keyakinan para pejuang. Bila takdir menghendaki lain, maka yang sahid berhak menyandang gelar syuhada. Keyakinan inilah yang menjadi dasar siprit juang para pendahulu. Para raja bersatu melakukan perlawanan hebat hingga berhasil mengusir penjajah keluar dari negerinya
Era kemerdekaan pun tiba, rakyat terbebas dari pengaruh penjajah, para raja bergabung dengan negara baru. Penguasa berganti, diberi nama pimpinan nasional, para raja ditempatkan sebagai kepala adat, meskipun hak-hak masyarakat adat diakui sebagaimana tertulis dalam konstitusi negara baru yang besar dan luas itu. Pasang surut politik negara baru, diperbincangkan khalayak ramai, karena rezim penguasa cenderung berperilaku diktator dan korup hingga datang era reformasi sebagai wujud perubahan politik mendasar dari negara. Pengisian jabatan public diberlakukan pemilihan langsung agar rakyat menemukan kedaulatannya. Itu berarti rakyat berhak memilih sendiri calon pemimpin di daerah.
Menurut peraturan calon atau pasangan calon diajukan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik (Koalisi). Panitia pemilihan disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat pula lembaga pengawas pemilu namanya Badan Pengawas Pemilu. Dua lembaga yang disebut terakhir adalah lembaga penyelenggara pemilu sesuai undang-undang pemilu kepala daerah dari megara yang belakangan disebut -sebut oleh netizen dengan istilah negara Konoha. KPU kemudian menetapkan empat pasangan calon yang berlaga dalam pilkada, akan tetapi berselang beberapa hari, karena, satu dengan lain hal, seorang calon berhalangan tetap. Partai koalisi segera melakukan rapat mendadak menetapkan isteri dari calon yang berhalangan tetap sebagai calon pengganti. Entah apa alasan, tuan raja memberi dukungan kepada calon wanita. Seorang tetua adat mengatakan pemimpin itu ibarat imam dalam shalat berjamaah, Artinya pemimpin adalah laki-laki, kaum wanita tidak diperkenankan menjadi imam atau pemimpin. Ketentuan adat ini sesuai ajaran Al Quran surat An Nisah ayat 34 “bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita” ujar tetua adat menjelaskan. Publik muslim dihebohkan dengan dukungan raja kepada calon non muslim. Mengetahui sikap raja, Mufti kerajaan mengeluarkan fatwa bahwa kerajaan Islam wajib hukumnya melaksanakan perintah agama yakni; memilih pemimpin seiman. pilihlah pemimpin yang benar, pilihanmu kelak dipertanggungjawabkan dihadapan al Khalik.
Para pembantu raja atau fufato adat terbelah, ada yang mendukung titah raja, banyak pula yang menolak. Seseorang yang memiliki jabatan dalam kerajaan mengatakan ”titah raja lebih tinggi dari fatwa Mufti “. Masyarakat dibuat terheran -heran dengan keadaan yang tak biasa ini. Seorang sahabat berbisik kepada tetangganya perbanyaklah istigfar, ketika mendengar ucapan fufato adat. Seolah olah raja tidak boleh salah meskipun keliru, maka berlaku adagium “ Raja memiliki dua pasal,” yakni; Pasal 1 Raja tak pernah salah dan Pasal 2 Apabila raja salah, maka kembali ke pasal 1.
Raja dianggap menyesatkan hulu balang demi kepentingan sesaat. Para ulama dan public muslim murka dengan cara raja berpolitik tidak sehat akal di negeri mayoritas muslim. Tatanan adat menjadi kacau balau, akibat sikap dan perilaku politik raja yang tidak sejalan dengan syari’at Islam dan adat istiadat. Hasil investigasi pewarta Majalah Lima Waktu “bocor tipis” disinyalir uang besar – banyak sudah beredar ke berbagai pihak. Menjelang pemilihan tampaknya raja menyadari, namun kesadaran setengah hati ini dicurigai mengharapkan legitimasi (pengakuan), karena sejak awal empat Kie Madihutu sebagai pimpinan lembaga pemilihan enggan mengakui keabsahan raja. Seorang lelaki tua tertunduk lesu dibawa pohon dekat rumah tua yang tak lagi bercahaya seperti sedia kala, berucap lirih “ Ya Allah, bahla apa lagi yang akan terjadi kemudian hari dinegeri kami ini ” Kami memang berdosa kepada para leluhur, karena tak mampu menjaga pesan-pesan dan nasihat pendahulu“ Ampuni lah hamba Ya Allah, hamba hanyalah rakyat biasa yang tak punya kuasa.”
Kondisi ini mengingatkan rakyat di negeri para raja tentang peristiwa seorang permaisuri yang memaksa raja dan fufato adat mengakui dua anak kembar yang bukan anaknya, untuk dijadikan raja pengganti. Reaksi protes keluarga raja dan rakyat memaksa permaisuri di bui selama satu tahun enam bulan. Suasana adat belum juga tertata secara baik, kini datang lagi prahara. Dalam situasi demikian, dari pangaji terdengar nasihat kecil kalifa Dula kepada anaknya yang beranjak dewasa; “Jika adalah yang harus kau lakukan, ialah menyampaikan kebenaran, jika adalah yang tidak bisa dijual bilikan, dialah yang bernama keyakinan, jika adalah yang harus kau tumbangkan, dialah segala pohon-pohon kezaliman, jika adalah orang yang harus kau agungkan, dia adalah Rasulullah. Jika ada kesempatan memilih mati, dijalan sahid, dijalan Ilahi. Kita adalah pemilik sah negeri ini, tidak ada lagi pilihan lain, kita harus berjalan terus, karena berhenti atau mundur berarti hancur. Tidak ada lagi pilihan lain, kita harus berjalan terus.” Apabila terdapat kesamaan nama dan kejadian, itu adalah faktor kebetulan. Sesungguhnya tulisan ini hanyalah dialog imajiner. (***)