Pada momentum peringatan hari Kartini tahun 2025, Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) berkolaborasi dengan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Rusia (PPIR) menggelar Webinar dengan Tema “Suara Perempuan Untuk Indonesia Maju dan Berkeadilan”. Kegiatan ini merupakan upaya agar suara perempuan, termasuk Perempuan yang bergiat di FSAB dan PPIR dapat di dengar oleh masyarakat, menyuarakan posisi perempuan yang seharusnya dalam gerakan emansipasi maupun kesetaraan gender sebagai, bagaimana Perempuan dapat menjadi subjek, bukan obyek pembangunan.
Namun kenyataannya masih banyak di temukan di berbagai tempat yang masih memposisikan perempuan sebagai objek, sedangkan untuk pembangunan posisi perempuan sudah semestinya menjadi subjek sama dengan pria, bukan sebagai obyek, demikian di sampaikan Suryo Susilo, Ketua FSAB yang juga merupakan Ketua PPIR, dalam kata sambutannya di acara webinar tersebut, Senin, 21 April 2025 di Jakarta.
“Fenomena itulah yang kemudian mendorong perempuan-perempuan hebat anggota FSAB dan PPIR mengemukakan Suara perempuan untuk Indonesia Maju yang Berkeadilan dalam forum webinar ini ” ucap Suryo Susilo.
Acara yang dipandu oleh Yustin Sila ini menghadirkan tiga narasumber yakni Audra Yovani Dosen UKI yang juga Sekretaris PPIR, Anna I Syatila Ketua Yayasan Suffah dan Pengurus FSAB serta Xie Offse Penggiat Budaya dan Pengurus PPIR.
Diskusi ini di awali dengan penyampaian seputar Keterlibatan Perempuan di dunia politik beserta tantangannya oleh Audra Yovani, menurut nya, sejak era reformasi pada periode 2004-2019, meskipun masih menghadapi persoalan tindak kekerasan, diskriminasi, afirmasi politik yang kurang memihak, masalah kesehatan seperti stunting, masalah reproduksi dll,
Masalah kultur maupun struktur masyarakat yang masih minim terhadap pemahaman tentang kesetaraan gender, serta masalah pendidikan dan ekonomi yang minim akses permodalan dll,
Akan tetapi kenyataannya keterwakilan perempuan baik di partai politik, legislatif maupun eksekutif telah mengalami peningkatan signifikan di bandingkan yang terjadi di era Orde Lama maupun Orde Baru di masa silam.
“Namun terlepas itu semua, jika bicara peran wanita dalam politik, maka RA Kartini lah sebagai role mode nya, karna beliau tidak pernah mencalonkan diri sebagai pejabat publik tapi beliau menjalankan politik etik untuk membela kaum tertindas” tukas Audra.
Sementara itu, Anne Irna Syatila dalam pemaparannya mengemukakan rasa bangga terhadap kaum perempuan di Indonesia, terutama di wilayah nya di Garut, yang di sebut nya sebagai perempuan hebat dan kuat; akan tetapi di balik kebanggaan nya itu, dirinya juga mengungkap kan keprihatinannya terhadap kondisi kaum perempuan saat ini, terutama yang bertempat tinggal di Garut, yang masih di hadapkan pada permasalahan tindak kekerasan, pendidikan, permasalahan hukum, masalah kurang akses modal dalam berusaha yang saat ini masih di dominasi kaum pria, serta permasalahan lain nya yang menghambat sekaligus tantangan bagi kemajuan gerakan emansipasi wanita.
“Dari kondisi tersebut, sangat di sayangkan bagi para wanita yang memiliki kemampuan intelektualitas, kemampuan finansial yang cukup memadai dan bahkan memiliki akses ke berbagai instansi pemerintah dan swasta, mereka enggan mengulurkan tangan untuk membantu kaumnya, kalau toh mereka membantu itu pun kalau ada kepentingan pribadi mereka.” ungkap Anne.
Dari situasi tersebut, sambung nya, dirinya bersama rekan rekan setimnya turun langsung ke masyarakat terutama ke kaum perempuan untuk mengedukasi mereka, mengadvokasi mereka melalui Lembaga Bantuan Hukum, serta pekerjaan sosial lain nya untuk memberdayakan potensi kaum wanita, namun sayang sekali pekerjaan tersebut tidak di gemari oleh kebanyakan kaum wanita muda, mereka lebih senang pada pekerjaan yang ada finance nya.
“Gerakan emansipasi wanita untuk Indonesia Maju dan Berkeadilan, rasanya sulit di wujudkan jika tidak ada kehadiran negara dan juga tanpa kehadiran serta tanpa keterlibatan kita semua, untuk itulah mari kita semua saling bersinergi dalam memasifkan gerakan emansipasi wanita dalam turut serta mewujudkan Indonesia Emas 2045 mendatang ” tandas Anne.
Di sesi ketiga, dalam paparannya, Xie Offse, Penggiat Kebudayaan, ia mengatakan bahwa Pendidikan adalah jalan untuk menuju keadilan, karena melalui pendidikan akan di bentuk kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kesadaran diri, serta keberanian untuk bersuara memperjuangkan kemajuan, kemudian menempa diri dalam proses untuk meraih kondisi yang berkeadilan.
“Keadilan bagi perempuan itu tidak bisa menunggu dihadiahkan oleh siapa pun, melainkan harus diraih, dan bahkan harus diperjuangkan” kata Xie Offse.
Sehingga, lanjut Xie Offse, kalau bicara keadilan, maka RA Kartini menjadi inspirator dari suatu perjuangan merebut dan meraih keadilan yang di wujudkan dalam kesetaraan gender.
“Memang tak bisa di pungkiri dari kacamata budaya, keberadaan gerakan emansipasi wanita masih menghadapi tantangan yang tidak mudah, bahkan bisa jadi penghambat bagi kemajuan yang berkeadilan, meskipun di era modern ini, persoalan kesetaraan gender pada konteks budaya, masih harus di perjuangkan, seperti halnya yang pernah di alami oleh RA Kartini” pungkas Xie.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 50-an orang peserta dari berbagai daerah maupun dari berbagai kalangan, antara lain nampak hadir Dr. Nani Nurrahman, Suryani Estati Sudibyo, Nevie Santana, Gusti Ayu, dll.