Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Pangkalpinang menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada Toni Tamsil yang dikenal juga sebagai Akhi, dalam sidang yang digelar pada Kamis, 29 Agustus 2024 lalu. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta hukuman 3,6 tahun penjara dengan hanya denda Rp 5000,-
Sontak saja, hal itu mendapatkan respon dari berbagai kalangan masyarakat, salah seorang diantaranya adalah Praktisi hukum, Andi Darwin Ranreng, SH, MH, kepada wartawan, ia mengatakan Vonis tiga tahun penjara dan membayar biaya perkara hanya Rp 5000 bagi Toni Tamsil, yang juga terdakwa perintangan penyidikan terkait kasus dugaan korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, sangat disayangkan. Meski demikian, tuntutan yang rendah untuk Toni Tamsil juga dikritik karena dinilai memperlihatkan kejaksaan tidak serius dalam menangani kasus tersebut
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya mencermati Vonis Hukum tersebut, tentu dengan perasaan yang miris, ya, mengapa saya katakan demikian sebab kita liat undang undang korupsi dalam pasal demi pasal, tidak ada yang sanksi hukumannya serendah itu dengan kerugian negara sebesar ratusan trilyun rupiah.” Ungkap Andi Darwin Ranreng, SH, MH kepada nasionalpos.com, Selasa, 10/9/204 di Jakarta.
Menurutnya, dalam Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001, pelaku perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun, serta denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta, sedangkan pada Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, pelaku tindak pidana korupsi dapat dihukum pidana selama 4 tahun, denda sebesar Rp200 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp238.890.000, tidak hanya itu pada Pasal 603, pelaku korupsi dapat dihukum pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun.
“ Di dalam Undang-Undang itu juga di pertegas Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun.”tukas Andi Darwin Ranreng, SH, MH.
Lebih lanjut Andi Darwin Ranreng, SH, MH mengatakan Semua itu tergantung dari jaksanya, sebagai pengacara negara dalam hal ini, tentunya untuk mengupayakan adanya pengembalian atas kerugian negara agar negara bener bener tidak rugi walapun pasti rugi minimal, namun bisa diupayakan agar keuangan negara bisa balik walapun tidak maksimal, dalam hal ini,
Tentunya Jaksa penuntut umum dalam kapabilitas nya berupaya memberikan tuntutan pada jeratan yang di buat dalam sidang tuntutan nya, itulah mekanisme yang secara dimisal proses hukum acara yang di jalankannya.
Sedangkan peran hakim tentu nya memberikan putusan yang seadil adil nya .. dari pada pembelaan terdakwa lewat PH nya, atas tuntutan jaksa tersebut.
“Saya berfikir pluralis saja untuk hal ini Jaksa bisa memakai pasal pasal yang di sangkakan dan cakap untuk itu tetapi terlepas dari itu semua, kita kembali dengan sudut pandang dari cara kita menilai terkait putusan tersebut, terutama dari sudut pandang pendapat masyarakat” tutur Andi Darwin Ranreng, SH, MH.
Bagi masyarakat, sambung Andi Darwin Ranreng, SH, MH tentu nya pasti kaget kok cuma di hukum sekian, pada kasus yang merugikan negara sebesar Rp 300 T loh besar bener, nah itulah penilaian masyarakat yang mengesankan bahwa tidak adanya keadilan di Republik ini, tentunya hal semacam itu dapat menjadi kajian khusus yang harus di telaah,
Di karenakan hukum korupsi di negara ini, terkesan tidak konsisten seperti abu abu ya liat, misalnya pasal 603 yang boleh dikatakan nampak rancu, selain itu Banyaknya pasal karet dan tidak adanya ketegasan dalam mengadili suatu tindakan yang dimana telah menimbulkan multitafsir oleh berbagai kalangan. Hal Inilah yang berakibat pada lemahnya perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia.
“Menurut Saya, Tindak pidana korupsi di indonesia adalah salah satu sektor tindak pidana yang undang undangnya memiliki banyak pasal yang tidak gereget dan kabur kalau saya katakan liat beberapa pasal dan cermati saja ,pasal Yang berakibat dalam penjatuhan hukumannya tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat Indonesia, tidak berkeadilan dan berkesan seperti ada permainan dibalik kasus tersebut,”ucap Andi Darwin Rangreng, SH, MH.
Pastinya, sambung Andi Darwin Rangreng, SH, MH, kearah sana pikiran nya, cenderung curiga ada kolusi dll Hal tak beda dengan kasus lain, seperti pencurian, pelecehan seksual, narkoba. Pengambilan keputusan dalam kasus ini bisa dikatakan hampir sama dengan kasus korupsi yang lain, bahkan lebih tinggi dari kasus pencurian kayu jati oleh nenek-nenek yang mendapat hukuman satu tahun penjara. Masyarakat sudah beranggapan hukum di Indonesia tajam kebawah tumpul keatas. Kalau sudah begini akan repot dimana hukum itu bukan lagi jadi panglima tetapi hukum itu menjadi komoditi.
Oleh karena itu, dirinya berharap Pemimpin baru yang diharapkan masyarakat di negeri ini dapat berperan untuk mendorong reformasi kepada penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. Perlu juga di contoh seperti negara China . Korea utara dan negara lain nya tetapi dengan prinsip rasa keadilan sesuai amanat UUD1945.
“Intinya dari hal tsb kita harus menghormati keputusan majelis .Dan protab nya jaksa wajib banding, Ya, kita berharap kedepan nya akan lebih baik lagi dari yang sudah-sudah, tentunya di harapkan implikasi Vonis Toni Tamsil Kasus Timah, Perlu Segera Reformasi Hukum, sesuai ekspetasi masyarakat, tidak tajam ke bawah, tumpul ke bawah.”pungkas Andi Darwin Rangreng, SH, MH.